Bedhaya: Tarian Sakral Sembilan Bidadari Yogyakarta

Avatar photo

Dito dianto

Tari Bedhaya, lebih dari sekadar sebuah pertunjukan seni, adalah sebuah ritual sakral yang memancarkan keanggunan, spiritualitas, dan sejarah panjang Keraton Yogyakarta. Ditarikan oleh sembilan penari wanita, Bedhaya bukan hanya menyuguhkan keindahan gerakan, tetapi juga mengisahkan kisah-kisah luhur, filosofi mendalam, dan koneksi erat antara manusia dengan alam semesta. Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai aspek Tari Bedhaya, mulai dari sejarahnya yang kaya, makna filosofis yang tersembunyi di balik gerakannya, hingga perannya yang krusial dalam melestarikan identitas budaya Yogyakarta.

Sejarah dan Asal Usul: Dari Kisah Cinta Hingga Ritual Kenegaraan

Asal usul Tari Bedhaya di Yogyakarta terjalin erat dengan mitos dan legenda yang diturunkan dari generasi ke generasi. Konon, tarian ini bermula dari kisah cinta antara Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Islam, dengan Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan. Dalam pertemuannya, Ratu Kidul mengajarkan Panembahan Senopati sebuah tarian yang kemudian menjadi cikal bakal Bedhaya.

Namun, penting untuk dicatat bahwa catatan sejarah menunjukkan perkembangan Bedhaya jauh lebih kompleks daripada sekadar kisah cinta. Diperkirakan, unsur-unsur Bedhaya telah ada sejak masa Kerajaan Majapahit, kemudian mengalami evolusi dan adaptasi seiring berjalannya waktu dan pergantian kekuasaan.

Evolusi Bedhaya dari Masa ke Masa:

  • Masa Majapahit: Diduga terdapat unsur-unsur tarian sakral yang menjadi fondasi Bedhaya, terkait dengan ritual kesuburan dan penghormatan kepada dewa-dewi.
  • Masa Mataram Islam: Panembahan Senopati menjadikan Bedhaya sebagai tarian kebesaran kerajaan, merepresentasikan kekuatan dan keselarasan antara kerajaan dengan kekuatan spiritual.
  • Masa Keraton Yogyakarta: Sultan Agung Hanyakrakusuma menyempurnakan Bedhaya, menambahkan filosofi Islam dan menjadikannya sebagai bagian integral dari upacara kenegaraan dan keagamaan. Sultan Hamengkubuwono I kemudian menetapkan pakem (aturan) Bedhaya yang masih berlaku hingga saat ini.

Seiring berjalannya waktu, Bedhaya tidak hanya menjadi tarian istana, tetapi juga simbol identitas budaya Yogyakarta. Tarian ini dipertunjukkan dalam berbagai upacara penting, seperti penobatan raja, peringatan hari kelahiran raja (Wiyosan Dalem), dan upacara Garebeg.

Mengapa Sembilan Penari? Angka Sakral dan Simbolisme Mendalam

Jumlah penari dalam Bedhaya, yaitu sembilan, bukanlah angka sembarangan. Angka sembilan memiliki makna sakral dan simbolik yang mendalam dalam budaya Jawa. Beberapa interpretasi mengenai angka sembilan dalam Bedhaya antara lain:

  • Sembilan Wali: Menggambarkan sembilan wali (Wali Songo) yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Hal ini menunjukkan akulturasi budaya dan agama yang harmonis dalam kesenian Jawa.
  • Sembilan Lubang dalam Tubuh Manusia: Menggambarkan kesatuan dan keseimbangan antara jasmani dan rohani. Penari Bedhaya diharapkan mampu mengendalikan diri secara fisik dan spiritual.
  • Sembilan Arah Mata Angin: Menggambarkan kekuasaan dan pengaruh raja yang meliputi seluruh penjuru mata angin.
  • Representasi Bidadari: Sembilan penari melambangkan sembilan bidadari yang menjadi abdi dalem (pelayan) Ratu Kidul.
Rekomendasi Untuk Anda  Sumur Gumuling Tamansari: Jejak Spiritual dan Strategi Pertahanan di Jantung Keraton Yogyakarta

Lebih jauh, posisi dan interaksi antar penari dalam Bedhaya juga memiliki makna tersendiri. Setiap penari memiliki peran dan nama yang berbeda, misalnya:

  • Batak: Penari yang memiliki postur tubuh paling tinggi dan berperan sebagai pemimpin gerakan.
  • Endhel: Penari yang bertugas menjaga keseimbangan dan harmoni dalam kelompok.
  • Pembatak Gulu: Penari yang memiliki peran penting dalam transisi gerakan.
  • Gulu: Penari yang bertindak sebagai penghubung antar penari.
  • Dhada: Penari yang melambangkan keberanian dan kekuatan.
  • Apit Ngarep: Penari yang menjaga keseimbangan di bagian depan formasi.
  • Apit Mburi: Penari yang menjaga keseimbangan di bagian belakang formasi.
  • Peningset: Penari yang berperan sebagai pengikat dan penyatu seluruh penari.
  • Buntil: Penari yang melambangkan kesuburan dan kemakmuran.

Keteraturan dan keselarasan antar penari dalam Bedhaya mencerminkan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Gerakan yang Penuh Makna: Bahasa Tubuh yang Menceritakan Kisah Luhur

Gerakan dalam Tari Bedhaya sangat halus, lembut, dan terkontrol. Setiap gerakan memiliki makna filosofis dan simbolis yang mendalam. Gerakan-gerakan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai estetika visual, tetapi juga sebagai media untuk menyampaikan pesan dan nilai-nilai luhur.

Beberapa Contoh Gerakan dan Maknanya:

  • Sembah: Gerakan penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, raja, dan sesama manusia. Menunjukkan kerendahan hati dan kesadaran akan kedudukan masing-masing.
  • Srisig: Gerakan berjalan kecil dan cepat, melambangkan ketangkasan dan kewaspadaan.
  • Lengkung: Gerakan melengkungkan tubuh ke samping, melambangkan keanggunan dan kelembutan seorang wanita.
  • Ukel: Gerakan memutar pergelangan tangan, melambangkan keluwesan dan kemampuan beradaptasi.
  • Lumaksana: Gerakan berjalan anggun dan perlahan, melambangkan ketenangan dan kedamaian.

Selain gerakan tangan dan tubuh, ekspresi wajah penari juga sangat penting. Ekspresi yang ditampilkan harus mencerminkan ketenangan, kesabaran, dan kebijaksanaan. Penari Bedhaya diharapkan mampu menghayati peran mereka dan mengekspresikan emosi yang sesuai dengan cerita yang disampaikan.

Rekomendasi Untuk Anda  Mengungkap Pesona Tamansari: Berapa Lama Waktu Ideal untuk Menjelajahi Istana Air yang Memukau Ini?

Busana dan Aksesori: Simbol Kemewahan dan Kesucian

Busana dan aksesori yang dikenakan oleh penari Bedhaya sangat mewah dan indah. Setiap detail memiliki makna simbolis yang berkaitan dengan status, kekuasaan, dan kesucian.

Elemen-elemen Penting dalam Busana Bedhaya:

  • Kemben: Kain yang menutupi dada dan bahu, melambangkan kesopanan dan keanggunan.
  • Dodot: Kain panjang yang dililitkan di pinggang, melambangkan kekuasaan dan kemewahan.
  • Sumping: Hiasan telinga yang terbuat dari emas atau perak, melambangkan keindahan dan kebijaksanaan.
  • Gelang: Hiasan pergelangan tangan yang terbuat dari emas atau perak, melambangkan perlindungan dan kekuatan.
  • Kalung: Hiasan leher yang terbuat dari emas atau perak, melambangkan kemuliaan dan keagungan.
  • Sanggul: Tatanan rambut yang khas dengan hiasan bunga melati, melambangkan kecantikan dan kesucian.

Warna-warna yang dominan dalam busana Bedhaya adalah warna-warna cerah seperti emas, merah, dan hijau. Warna-warna ini melambangkan kemakmuran, keberanian, dan kesuburan.

Musik Pengiring: Harmoni yang Membangun Suasana Sakral

Musik pengiring Tari Bedhaya dimainkan oleh gamelan, sebuah ansambel musik tradisional Jawa yang terdiri dari berbagai macam instrumen perkusi, seperti gong, kendang, saron, dan bonang. Musik gamelan yang mengiringi Bedhaya memiliki karakter yang lembut, tenang, dan khidmat.

Lagu-lagu yang dimainkan biasanya memiliki lirik yang mengandung pesan-pesan moral dan spiritual. Musik gamelan tidak hanya berfungsi sebagai pengiring tarian, tetapi juga sebagai sarana untuk menciptakan suasana sakral dan mendukung penghayatan penari terhadap peran mereka.

Pelestarian Bedhaya: Tantangan dan Upaya yang Dilakukan

Tari Bedhaya adalah warisan budaya yang sangat berharga dan perlu dilestarikan agar tidak punah. Namun, pelestarian Bedhaya menghadapi berbagai tantangan, antara lain:

  • Minimnya regenerasi penari: Jumlah penari Bedhaya yang berkualitas semakin berkurang.
  • Kurangnya minat generasi muda: Banyak generasi muda yang kurang tertarik untuk mempelajari Bedhaya.
  • Pengaruh budaya asing: Masuknya budaya asing yang semakin deras dapat menggerus minat terhadap budaya tradisional.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan, antara lain:

  • Penyelenggaraan pelatihan dan workshop: Keraton Yogyakarta secara rutin menyelenggarakan pelatihan dan workshop Tari Bedhaya untuk generasi muda.
  • Pendidikan formal: Tari Bedhaya dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
  • Promosi melalui media: Tari Bedhaya dipromosikan melalui berbagai media, seperti televisi, radio, internet, dan media sosial.
  • Penyelenggaraan festival dan pertunjukan: Tari Bedhaya sering ditampilkan dalam berbagai festival dan pertunjukan budaya.

Kesimpulan: Bedhaya, Pusaka yang Harus Dijaga

Tari Bedhaya adalah lebih dari sekadar tarian. Ia adalah sebuah manifestasi dari nilai-nilai luhur, sejarah panjang, dan identitas budaya Yogyakarta. Melalui keindahan gerakan, kemegahan busana, dan harmoni musik pengiring, Bedhaya menyampaikan pesan-pesan spiritual, moral, dan sosial yang relevan bagi kehidupan manusia.

Pelestarian Tari Bedhaya adalah tanggung jawab kita bersama. Dengan memahami makna filosofis dan simbolis yang terkandung di dalamnya, kita dapat menghargai kekayaan budaya kita dan mewariskannya kepada generasi mendatang. Mari kita terus dukung dan lestarikan Tari Bedhaya, agar pusaka agung ini tetap hidup dan menginspirasi.

Baca Juga